Merek Punya Kepribadian
Seperti layaknya manusia, merek perlu menonjolkan kepribadiannya. Merek bisa berkomunikasi secara ramah, mendengarkan, peduli, bisa terharu, ringan tangan untuk membantu, dan sebagainya. Melalui cerita, merek memposisikan diri secara sejajar atau egaliter dengan pelanggannya.
Dalam menyusun brand story merek perlu menampilkan karakter mereka. Kepribadian atau persona dari sebuah merek secara sederhana membuatnya terlihat hidup layaknya manusia. Sebab itu, merek perlu menyisipkan karakter yang manusiawi dalam mencitrakan bisnisnya.
Brand personality adalah atribut emosional, manusia, atau karakteristik yang diberikan kepada merek atau produk. Ini adalah cara untuk memberikan identitas dan karakter kepada merek, sehingga konsumen dapat merasa terhubung dengannya. Brand personality mirip dengan kepribadian manusia, dan ini membantu merek untuk menarik pelanggan yang memiliki nilai, preferensi, dan gaya hidup yang sama.
Suatu brand personality yang apik akan membantu merek untuk terhubung dengan konsumennya dalam tingkatan yang lebih dalam. Persona merek yang pas akan membuat konsumen merasa memiliki kesamaan di antara keduanya. Dus, relasi keduanya akan lebih erat melihat persamaan tersebut.
Dalam menentukan persona dari merek, ada 12 karakter manusia yang bisa digunakan. Karakter-karakter tersebut disusun oleh psikolog bernama Carl Jung. Dalam penelitiannya, Jung menyimpulkan ada 12 karakter dasar manusia.
Karakter tersebut disusun dalam konsep yang bernama Archetype. Temuan Jung kemudian dimodifikasi untuk menentukan bagaimana merek dapat menentukan persona yang cocok dengan target pasar mereka.
Dalam 12 Brand Archetype, 12 karakter yang dimaksud yakni The Innocent, Everyman, Hero, Rebel, Explorer, Creator, Ruler, Magician, Lover, Caregiver, Jester, dan Sage. The Innocent merepresentasikan karakter yang sederhana, tulus, berdaya tarik emosional. Everyman merepresentasikan karakter setia, suportif, dan jujur.
Hero mencerminkan karakter yang tegas, berani, inspiratif. Rebel mencerminkan karakter yang menuntut perubahan, pembangkang, kritis. Lalu Explorer yang mencerminkan karakter yang bebas, penuh semangat, suka berpetualang.
Creator mencerminkan karakter yang kreatif, inovatif, unik. Ruler mencerminkan karakter yang menyukai keteraturan dan menginginkan kestabilan. Kemudian Magician yang mencerminkan karakter yang visioner serta menginginkan transformasi.
Karakter Lover mencerminkan pribadi yang sensual, intim, penuh kasih. Caregiver yang mencerminkan karakter yang peduli, penyayang, dan perhatian. Jester yang mencerminkan karakter yang humoris, ceria, lucu. Terakhir Sage yang mencerminkan karakter yang bijak, tenang, pemikir.
12 karakter dalam Archetype tersebut lazim digunakan merek dalam menentukan persona yang akan dipilih. Penerapan persona tersebut membantu merek dalam menyuarakan narasi yang digaungkan. Setiap merek dapat mengadopsi satu atau beberapa Archetype yang paling sesuai dengan nilai, tujuan, dan target pasar mereka. Menggunakan Archetype ini dapat membantu merek mengarahkan pesan pemasaran, desain visual, dan interaksi dengan pelanggan untuk menciptakan identitas yang kuat dan kohesif.
Memiliki identitas yang kuat menunjukkan brand personality yang juga kuat. Kepercayaan konsumen terhadap brand personality sebuah merek merekatkan relasi keduanya. Semakin erat relasi keduanya, potensi konversi cerita ke penjualan juga semakin besar. (Grafik 1)

Sebanyak 57,5% responden survei merasa bahwa mereka akan membeli produk dari merek yang memiliki brand personality yang kuat. Kemudian, 23,5% di antaranya mengatakan sangat yakin untuk membeli produk dari merek yang berkarakter dan 34% di antaranya yakin akan membeli produk dari merek dengan persona yang kuat.
Sebanyak 29,9% orang mengatakan bahwa mereka tidak akan terpengaruh dengan cara apa pun. Dan hanya 12,7% orang yang mengatakan bahwa mereka belum tentu dan tidak akan membeli dari merek-merek dengan kepribadian yang kuat. Survei ini dilakukan Adzooma kepada 378 responden secara anonim dan global.
Persona merek juga menentukan gaya komunikasi mereka kepada konsumen. Konsumen tak percaya dengan persona merek hanya dari kampanye dan iklan yang digembar-gemborkan. Konsumen juga menilai kesesuaian gaya komunikasi merek dengan persona yang diklaim dimiliki oleh merek.
Nyatanya, persona merek dalam berkomunikasi dengan konsumen berpengaruh terhadap reputasi merek di dunia maya. Reputasi merek di dunia nyata sama pentingnya dengan reputasi merek di dunia maya. Gaya komunikasi merek harus mampu menyesuaikan dengan situasi konsumen sembari menjaga persona merek. (Grafik 2).
Sebanyak 55,7% responden mengaku akan meninggalkan merek dari cara mereka berkomunikasi. Komunikasi yang salah bisa berasal dari banyak hal. Salah satunya, merek yang tidak sesuai dengan persona yang mereka klaim. Namun sebaliknya, 51,2% responden mengaku akan membeli produk dari merek dari caranya berkomunikasi secara daring.
Brand personality mampu menentukan keberlanjutan dari bisnis merek. Narasi yang dibangun merek melalui persona mereka harus mampu meyakinkan konsumen bahwa merek mampu merepresentasikan karakter mereka. Karenanya, membuat konsumen mempercayai merek memerlukan proses kreatif yang detail.
Dalam industri asuransi, misalnya, merek perlu membangun persona yang memberikan rasa aman bagi konsumennya. Meski bisnis ini diawali dengan rasa ketakutan akan sesuatu yang belum terjadi, menakut-nakuti konsumen bukan pilihan yang bijak. Hal ini yang diyakini oleh Donald Miller dalam bukunya Building A Story Brand.
Miller meyakini bahwa menakut-nakuti pelanggan bukanlah hal yang membantu membangun brand personality serta menghadirkan rasa aman. Menciptakan rasa takut perlu. Namun, rasa takut haruslah menjadi sebuah pengingat akan risiko untuk konsumen.
Hal ini yang dilakukan oleh PT Asuransi Astra Buana dalam membangun brand personality dengan karakter yang bijak, informatif, dan memberikan ketenangan. Mengusung jargon Peace of Mind, merek menyusun konten yang relevan dengan keseharian nasabah. Salah satunya seperti unggahan yang memberikan tips mengelola keuangan dengan baik, mengumpulkan dana darurat, menjaga ekspektasi, dan lain-lain. Begitu pula dengan iklan yang dirilis oleh perusahaan.
“Konten-konten kami harus menyentuh sisi keseharian hidup di masyarakat. Di pedoman, kami tidak boleh menampilkan hal-hal yang menakut-nakuti konsumen. Kami ingin menampilkan peace of mind,” kata Laurentius Iwan Pranoto, Head of Marketing Communication & Event Asuransi Astra.
Asuransi Astra melakukan riset mendalam terkait pembuatan konten guna membangun brand personality merek. Mulai dari tren yang sedang terjadi, masalah yang relevan dengan konsumen, hingga pemilihan tutur dialog dalam konten. Merek memilih menggunakan panggilan “kak” dan “kamu” dibandingkan “bapak” dan “ibu” kepada nasabah untuk membantu merek lebih relevan dengan konsumen di usia kisaran 30 tahun.
Begitu pula yang dilakukan Tropicana Slim. Menjual produk dengan konsep gaya hidup sehat tak berarti merek menjual rasa takut kepada konsumen. Merek ini menempatkan pelanggan sebagai pusat cerita dengan menggambarkan bagaimana produk-produk mereka membantu pelanggan mencapai tujuan kesehatan dan gaya hidup yang lebih baik.
Merek mencoba membangun brand personality dengan karakter yang merawat, memperhatikan, dan peduli dengan kesehatan konsumennya. Pembangunan brand personality ini dilakukan mulai dari unggahan di media sosial dan web series. Storytelling Tropicana Slim dirancang membangkitkan perasaan positif dan memotivasi audiens untuk memulai hidup sehat dengan memperhatikan asupan nutrisi khususnya gula, garam, dan lemak.
“Cerita tentang perjalanan atau transformasi pelanggan yang didukung oleh angka-angka dapat menjadikan brand story lebih relevan dan menginspirasi, dengan membantu audiens untuk merasakan dampak positif yang dapat dicapai melalui keterlibatan dengan merek tersebut,” kata Noviana Halim, Brand Manager Tropicana Slim.
Dalam mengejar kesuksesan dalam dunia bisnis yang berubah cepat, memahami dan menerapkan Archetype merek yang sesuai adalah langkah penting untuk membangun hubungan yang kuat dengan konsumen dan membedakan diri di pasar yang padat. Penting untuk dicatat bahwa identitas merek bukanlah sesuatu yang statis dan dapat berkembang dan berubah seiring waktu. Oleh karena itu, merek harus tetap sensitif terhadap perubahan dalam kebutuhan dan preferensi konsumen serta dalam dinamika pasar.
“Konten-konten kami harus menyentuh sisi keseharian hidup di masyarakat. Di pedoman, kami tidak boleh menampilkan hal-hal yang menakut-nakuti konsumen. Kami ingin menampilkan peace of mind.”
Iwan Pranoto
Head of Marketing Communication & Event Asuransi Astra