Merek dan Kekuatan Narasi

Merek dan Kekuatan Narasi

Narasi menjadi sarana bagi merek untuk menyampaikan pesan kepada konsumen secara efektif dan berdampak. Banyak merek global sukses berkat kekuatan narasi tersebut.

Pada dekade 1970-an, muncul entrepreneur activist wanita asal Inggris, Anita Roddick yang didukung suaminya Gordon Roddick merintis apa yang kini dikenal sebagai ethical capitalism. Anita Roddick, memperkenalkan bisnis kosmetik yang unik dari Inggris dengan nama The Body Shop. Pada era di mana belum munculnya keluhan luas atas kapitalisme di Western Countries, Anita Roddick memperkenalkan bentuk-bentuk penerapan ethical capitalism melalui ethically sourced, cruelty free and natural ingredients kosmetik.

Untuk mempraktikkan apa yang disebut sebagai ethically sourced, Anita misalnya membeli langsung dari produsen bahan baku kosmetik dan proses produksinya tidak diuji pada binatang. Sebuah keberanian. Ini dilandasi keyakinan Anita bahwa bahan-bahan alami aman untuk digunakan mesti tidak melalui pengujian terlebih dahulu pada binatang. Yang menarik, prinsip ethical capitalism yang diperkenalkan Anita tidak hanya terbatas dalam value chain pembuatan produk tapi prinsip etis lainnya.

Di luar dugaan, ternyata value proposition seperti itu pada dekake tersebut bisa menarik banyak orang di Inggris atau Eropa. Tak heran ketika Gordon mengusulkan Anita mengembangkan bisnis melalui franchise, banyak pihak yang menyambut positif. Sehingga toko kosmetik yang dirintis Anita dan Gordon Roddick muncul di mana-mana dan banyak pembelinya.

Namun, yang sebetulnya tidak terbayangkan bagi kebanyakan orang adalah ethically sourced dan cruelty free product bisa menjadi bisnis yang berkembang bagus dan menguntungkan. Karenanya, ketika akhirnya terdaftar di London Stock Exchange pada tahun 1984, valuasi The Body Shop melonjak pesat. Menariknya, dengan valuasi yang meningkat pesat, Anita bahkan bisa mempraktekkan ethical capitalism terkait penghormatan hak cipta.

Sebetulnya, sebelum Anita memulai bisnis kosmetik pada tahun 1976, Peggy Short dan Jane Saunders di Amerika Serikat mendirikan toko kosmetik yang produknya dibuat sendiri tahun 1970 silam. Kebetulan, keduanya juga menggunakan nama The Body Shop. Hanya saja jaringan toko Peggy Short dan Jane Saunders itu terbatas di Amerika Serikat. Ketika Anita Roddick ingin memperluas jaringan di negeri Paman Sam dan untuk mencegah  munculnya gugatan hak cipta, Anita Roddick membayar mahal ke Peggy Short dan Jane Saunders. Hal itu demi hak penggunaan nama The Body Shop di Amerika Serikat.

Langkah berani tersebut adalah keputusan yang tepat. Media di Amerika Serikat membantu peningkatan popularitas The Body Shop. Bahkan, Harvard Business School membuat studi kasus terkait ethical capitalism yang diperkenalkan Anita Roddick di tahun 1991.

Kampanye yang dirintis Anita Roddick menjadi contoh kekuatan narasi dan membantu The Body Shop menjadi merek yang kuat. Sekalipun kesadaran akan lingkungan atau perlindungan binatang belum dikenal luas, ternyata banyak yang menyambut kampanye ethical capitalism yang diperkenalkan Anita Roddick. Hebatnya, pelanggan bukan hanya menjadikan produk-produk The Body Shop sebagai pilihan mereka, tapi juga mau mempraktekkan kampanye isi ulang ketika membeli produk. Hal ini menunjukkan selain menghemat biaya produksi The Body Shop ternyata juga ramah lingkungan.

Pelan tapi pasti, jumlah mereka yang tertarik dengan social values contribution The Body Shop cukup besar. Sejak diperkenalkan di tahun 1976 hingga tahun 2000, The Body Shop menjadi bisnis yang menguntungkan dengan margin yang besar. Ternyata kontribusi nilai sosial bisa menjadi suatu keunikan yang dipilih oleh pelanggan.

Lazimnya, begitu menjadi bisnis yang menguntungkan maka akan muncul pemain baru yang ingin meniru. Namun dalam kasus ethical capitalism yang diperkenalkan Anita Roddick, bukan hanya pemain baru tapi regulator pun ternyata juga tertarik dengan idenya. Muncullah regulasi berbasis ethical capitalism seperti melarang perusahaan-perusahaan kosmetik melakukan pengujian pada binatang.

Keberadaan regulasi semacam itu membuat keunikan The Body Shop pun berkurang. Kalaupun ada perbedaan pasca adanya regulasi, maka The Body Shop dikenal sebagai pemain yang pertama kali aktif mengkampanyekan dan mempraktekkan serta konsisten menjalankannya. Tidak heran bila asosiasi merek The Body Shop dengan ethical capitalism tetap kuat.

Seiring dengan perkembangan zaman, kontribusi nilai sosial semakin beragam jenisnya. Setelah Corporate Social Responsibility/CSR populer di suatu masa, kini pencapaian Sustainable Development Goals/SDG’s 2030 juga diperhitungkan. Apapun buzzword atau jargon bisnis yang lahir dan populer, perusahaan-perusahaan pionir yang konsisten melakukan dalam kurun waktu panjang ternyata dianggap menciptakan suatu nilai yang unik di mata pelanggan.

Padahal The Body Shop bukannya tidak ada kontroversi sama sekali. Sebagaimana tertulis dalam paper karya Vladimir Korovkin, lulusan DBA dari International School of Management Paris mengenai The Body Shop. Ada sejumlah kasus bahwa Anita Roddick tidak sepenuhnya menjalankan ethically sourced ketika berurusan dengan orang-orang Kayapo di kawasan hutan Amazon, Amerika Selatan. Kompensasi yang diberikan The Body Shop dianggap terlalu kecil.

Selain itu, salah satu franchisee (terwaralaba) The Body Shop di Charlottesville, Virginia, Amerika Serikat pada tahun 1990-an mengalami kegagalan. Terwaralaba ini kemudian menemukan realitas operasional perusahaan berbeda dengan persepsi tentang The Body Shop. Bisa jadi hal tersebut karena tidak mudahnya memastikan kepatuhan terhadap praktik operasional dalam jangkauan wilayah yang luas. Untungnya, yang mau menggali lebih dalam memang tidak banyak.

Ini bisa jadi karena kekuatan karisma Anita Roddick. Ketelatenan mengkampanyekan praktik bisnis yang etis membuatnya menjadi berbeda dibandingkan dengan perusahaan kosmetik lain yang sebetulnya juga menggunakan bahan alami. L’Occitane misalnya, adalah salah satu perusahaan yang menggunakan bahan alami dan banyak penggemarnya tapi tidak punya brand story telling yang kuat.

    Anita kebetulan adalah pebisnis yang lain dari yang lain karena juga merupakan seorang aktivis. Yang dia lakukan bisa dikatakan mendahului zaman. Tapi karena dilakukan secara konsisten, maka namanya akhirnya menjadi terkenal.

    Popularitas Roddick bukan hanya karena kampanyenya, tapi juga praktik yang dia lakukan. Mulai dari hal yang sederhana seperti bisa menukarkan atau mengembalikan botol kemasan. Praktik sederhana yang dilakukan secara konsisten ini membuat The Body Shop menjadi merek produk kosmetik yang punya diferensiasi yang solid.

    Hanya saja, apa yang menjadi kekuatan The Body Shop juga merupakan kelemahannya. Anita Roddick memang seorang praktisi bisnis dan sekaligus aktivis yang konsisten mengkampanyekan prinsip bisnisnya dalam kurun waktu yang panjang. Tapi dia bukan praktisi bisnis yang siap ketika zaman terus berubah.

    Itu terlihat dari indikator kinerja yang mengalami penurunan setelah memasuki tahun 2000-an. Pada tahun 2007 dia memutuskan menjual kepemilikan The Body Shop ke L’Oreal. Tidak lama setelah penjualan saham The Body Shop tersebut, Anita Roddick meninggal.

    Peristiwa itu menjadi akhir dari sebuah perjalanan fenomenal The Body Shop. Di era sebelum munculnya media sosial, di mana konsumen belum terkoneksi secara intens satu dengan yang lain, The Body Shop bisa menarik banyak orang. Sebabnya, keberanian mengkampanyekan sebuah nilai bisnis yang sebetulnya tidak banyak orang tahu. Selain itu,  sebagai praktisi bisnis kosmetik dia juga memilih cara kampanye produk yang biasanya hanya berfokus ke kecantikan dan keindahan.

    Setelah diakuisisi L’Oreal dan ditambah dengan meninggalnya Anita Roddick, maka The Body Shop pelan tapi pasti hanya menjadi salah satu dari kumpulan merek produk kosmetik yang dimiliki L’Oreal. Memang, legacy kampanye yang dilakukan tidak hilang. Bahkan praktik bisnis yang dipopulerkan Anita Roddick setidaknya masih terlihat di toko The Body Shop.

    Padahal rekaman video presentasi atau kampanye yang dilakukan Anita Roddick bukannya tidak ada. Tapi entah kenapa tidak dipakai dalam kampanye pasca meninggalnya Anita Roddick. Seiring dengan populernya media sosial, maka berbagai kampanye Anita Roddick bukan hanya mendahului zaman, tapi juga menemukan audiens yang lebih luas seiring dengan kesadaran akan Sustainable Development Goals.

    Ini yang misalnya membedakan dengan fenomena pop culture seperti John Lennon atau Freddy Mercury yang juga mendahului jaman dan juga telah lama meninggal dunia. Video rekaman mereka, yang masih terlihat dengan sejumlah keterbatasan ternyata tetap menarik orang. Itulah sebabnya ketika London Olympics 2012 mempersembahkan penghargaan khusus untuk kedua bintang pop culture tersebut, puluhan juta orang di seluruh dunia menyaksikan langsung dan rekaman di youtube termasuk salah satu yang punya views yang besar.

    Anita Roddick yang sebetulnya juga sebuah fenomena dari Inggris sebagaimana halnya dengan John Lennon dan Freddy Mercury, tidak muncul. Mungkin karena The Body Shop adalah perusahaan yang bukan sponsor London Olympics 2012. Sehingga hilanglah kesempatan menghidupkan kembali brand dari Anita Roddick dan The Power of Narrative.

    “Setelah Corporate Social Responsibility/CSR populer di suatu masa, kini pencapaian Sustainable Development Goals/SDG’s 2030 juga diperhitungkan.”

    Leave a Comment