Menantang Dominasi Merek Raksasa
Ada banyak strategi yang bisa dilakukan oleh merek-merek penantang kepada sang market leader. Apa saja?
Apa yang Anda lakukan ketika bisnis yang dimasuki atau brand yang anda tangani berada di kategori di mana sudah ada pemain raksasa yang begitu dominan? Kategori dengan merek, seperti Pepsodent di pasta gigi, Aqua di air minum dalam kemasan (AMDK), Indomie di kategori mi instan, Grab & Gojek di kategori ride hailing, atau Shopee dan tokopedia di kategori marketplace.
Berhadapan dengan raksasa yang begitu dominan memang menantang. Kita pun menyaksikan puluhan penantang masuk ke dalam kategori ini untuk berusaha mendapatkan pangsa pasar yang signifikan namun berakhir menjadi (maaf) pemain-pemain “penggembira” saja. Namun, kita juga tidak menutup mata beberapa merek yang berhasil punya traction yang cukup membahagiakan dalam menantang pemain raksasa di kategorinya.
Sebelum membahas satu per satu pelajaran dari para penantang sejati tersebut, penting untuk kita mengerti beberapa hal yang tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan itu. Pertama, merek menjadi raksasa yang dominan tidak dalam semalam. Butuh waktu, proses yang benar dan konsistensi. Ketika kita ingin menantang raksasa-raksasa ini, kita harus sadar bahwa ini tidak akan terjadi dalam waktu cepat. Kita tidak bisa memaksa konsumen untuk pindah secara buru-buru. Terlebih ketika merek-merek raksasa dibeli sebagai kebiasaan, sementara mengubah kebiasaan tidak pernah mudah dan cepat.
Kesadaran akan panjangnya pertarungan yang akan dihadapi akan membuat kita lebih bisa mengatur sumber daya baik berupa dana marketing, strategi, dan lain sebagainya. Hal kedua yang perlu diingat, beda kategori, beda karakter produk, beda level of involvement bisa beda pula strateginya. Misalnya, produk yang pembeliannya cenderung rasional akan membutuhkan penawan rasional yang kompetitif di samping kekuatan merek. Namun begitu, produk-produk yang nonrasional bukan berarti lebih mudah. Mempengaruhi konsumen yang memilih sesuatu secara tidak rasional seringkali lebih sulit.
Sense of Competitiveness
Semua orang ingin menggunakan sesuatu yang paling baik menurutnya, baik secara rasional maupun emosional. Kesalahan paling sering pemilik merek ketika masuk ke pasar dengan menantang raksasa adalah kurangnya percaya diri. Hal ini bisa saja terjadi secara tidak sadar sebagai dampak dari “aura” raksasa yang dilawan. Bentuknya bisa terlihat dari komunikasi yang tidak “bold”, dengan kreativitas yang tidak menunjukkan aura leadership.
Mereka juga terlihat tidak percaya diri dalam mengamplifikasikan kampanye. Walaupun faktor confidence ini seringkali jadi dilema. Mereka yang tidak pernah tahu bagaimana memenangkan pasar akan sulit untuk menumbuhkan confidence pada marketing investment. Karena itulah, merek-merek baru dari perusahaan yang sudah biasa jadi leader memiliki confidence yang lebih terasa. Sama seperti perbedaan level of confidence dari anak orang berada dan orang biasa.
Manusia yang dalam hal ini adalah konsumen, mengakses segala sesuatu bukan secara sadar dan eksplisit, namun juga bawah sadar dan implisit. Yang ditangkap oleh otak kita untuk kemudian dijadikan bahan untuk membangun persepsi terhadap sesuatu bukan hanya omongan yang tersurat. Juga hal-hal tersirat, seperti ekspresi, gestur, dan bahkan mikro gestur. Semua itu diproses secara subliminal.
Merek-merek yang masuk ke pasar dengan kekurangan confidence akan terasa sebagai merek medioker. Di situlah, otak konsumen secara bawah sadar akan menyimpannya sebagai “merek cadangan”. Sayangnya, kesempatan ini sebaiknya dibangun sejak awal. Primacy effect atau kesan pertama menjadi sebegitu penting untuk membangun persepsi kita terhadap sesuatu. Maka dari itu, merek harus membangun confidence sebagai merek yang memiliki sense of competitiveness sejak hari pertama diperkenalkan ke publik.
Social Influence
Manusia merupakan makhluk sosial. Kita menjadikan orang-orang di sekeliling kita sebagai “panduan” tentang cara kita harus bersikap, termasuk keputusan pembelian. Karena itu, kita memilih restoran yang lebih ramai ketika kita tidak tahu mana yang lebih enak. Kita juga melihat review pembeli lain ketika akan bertransaksi di situs marketplace. Bahkan, ketika kita tidak kenal siapa pembeli lain yang memberikan review itu.
Bisnis properti juga banyak menerapkan sistem NUP (nomor urut pemesanan) pada saat pembelian untuk membangun social pressure. Beberapa tahun terakhir kita juga menyaksikan bagaimana orang-orang biasa yang bukan public figure dan selebritas bisa begitu berpengaruh terhadap pembelian orang ketika mereka menjadi influencer. Kita juga menyaksikan bagaimana tokoh politik dan kini kaum bisnis mempekerjakan buzzer untuk menciptakan persepsi.
Terkadang persepsi yang diciptakan hanyalah illusory truth effect, yaitu kebohongan yang diulang-ulang secara massal sehingga orang mulai mempercayainya sebagai kebenaran. Terakhir, kita juga melihat bagaimana banyak generasi muda yang melakukan sesuatu termasuk mengambil keputusan pembelian semata-mata karena tidak ingin ketinggalan, FOMO (fear of missing out).
Semua ini membuktikan bahwa peran sosial untuk membangun persepsi dan menggerakkan konsumen amat sangat berdampak. Kita menggunakan perilaku orang-orang di sekitar kita sesederhana karena kita tidak mau salah, atau setidaknya kalaupun salah, jangan sendirian. Sebab itu kita mempertimbangkan dengan serius apa yang dilakukan oleh orang di sekitar kita, social validation. Merek penantang harus membangun pengaruh sosial ini.
Managing Perceived Risk
Sebagian besar proses pembelian merek baru selalu menimbulkan consumer perceived risk. Ini merupakan risiko yang masih berupa persepsi saat pembelian belum dilakukan. Bentuk nyata dari consumer perceived risk adalah rasa was-was, “jangan-jangan nanti enggak bagus”, begitu pikir kita. Dan, perceived risk ini seringkali menciptakan anticipated regret, yaitu penyesalan yang sudah terjadi bahkan ketika produk belum dibeli sebagai bentuk dari pikiran was-was tadi. Akhirnya, ini membuat konsumen menjadi semakin jauh dari pembelian. Consumer perceived risk sendiri tidak selalu akurat. Terkadang rasa was-was yang muncul tidak pernah jadi kenyataan ketika akhirnya produk dibeli. Namun, tidak adanya pengalaman dalam menggunakan produk ini di masa lalu membuat consumer perceived risk ini muncul. Terlebih lagi ketika konsumen yang kita persuasi sudah nyaman menggunakan produk raksasa yang sudah sebegitu dominan akibat sebegitu bisa memuaskan konsumen.
Dalam situasi seperti ini, bias status quo mudah sekali untuk muncul, yaitu kecenderungan seseorang untuk stay pada opsi yang selama ini ia gunakan ketimbang mengambil risiko pada merek baru yang belum pasti.
Menciptakan social influence bisa membantu menurunkan consumer perceived risk. Strategi garansi uang kembali atau diskon juga bisa menurunkan risiko. Mengingat risiko pembelian ada pada besaran uang yang dibayarkan untuk membeli produk tersebut.
Managing Buying Fluency
Produk yang kita beli sehari-hari tidak selalu produk-produk yang paling bagus, paling murah atau paling banyak dipakai. Produk bagus pun sering gagal di pasar ketika tidak mudah didapatkan, sebaliknya produk yang biasa-biasa saja bisa laku di pasar karena mudah didapatkan. Pemanfaatan momentum juga penting untuk mendorong penjualan. Karena itu, produk-produk seperti baterai, camilan chocolate bar sering ditempatkan di dekat kasir supermarket. Karena sesuai dengan momentum menunggu antrian kasir sambil berpikir apa yang kurang. Dalam hidup sehari-hari, mereka yang ingin menurunkan berat badan akan kesulitan jika masih menyimpan stok cemilan.
Untuk bisa melawan merek raksasa yang dominan, pemilik merek harus menciptakan kemudahan pembelian, baik melalui jaringan distribusi, proses pembelian yang mudah dan apa pun yang membuat konsumen mudah menemukan dan membelinya. Karenai itu, pesaing bisnis yang tidak etis seringkali memborong merek pesaing baru yang mengancam dari pasar sehingga sulit ditemukan oleh konsumen. Dampaknya, konsumen pun malas mencarinya lagi.
Consistency of Experience
Merek apa pun bisa menjadi raksasa yang dominan hanya ketika ia bisa menjaga experience secara konsisten. Ini termasuk konsistensi fitur yang ditawarkan, kemudahan mendapatkan hingga keseluruhan consumption experience. Ketika experience-nya konsisten, maka ini akan jadi validasi tentang competitiveness-nya terhadap raksasa yang dominan sekaligus membantu menjaga dan mengembangkan social influence.
Ketika bisnis diharapkan terus mengalami peningkatan, maka pemilik merek tidak bisa bergantung hanya pada penambahan konsumen baru saja, tapi juga repeat order dari konsumen yang sudah mencoba, dan bahkan membeli dan mengkonsumsi dengan lebih banyak. Ini cuma bisa dicapai ketika pemilik merek bisa menjaga consistency of experience.
Pada akhirnya, kita bisa melihat berbagai merek pendatang yang berani menantang raksasa yang sudah dominan kemungkinan besar memiliki lima hal di atas.
Ketika kita ingin menantang raksasa-raksasa ini, kita harus sadar bahwa ini tidak akan terjadi dalam waktu cepat. Kita tidak bisa memaksa konsumen untuk pindah secara buru-buru.