Content Marketing: Lebih dari Sekadar Cari Perhatian

Content Marketing: Lebih dari Sekadar Cari Perhatian

Menggarap content marketing di era sekarang dianggap pekerjaan seksi. Sayangnya di lapangan, masih banyak content creator yang belum benar-benar memahami marketing.

Kehadiran media sosial beberapa tahun terakhir mengubah cara manusia berinteraksi. Kita semua mendadak punya akses untuk tidak hanya jadi konsumen atau penikmat belaka, namun juga sebagai produsen. Dengan kata lain adalah produsen konten. Dampaknya, penjualan kamera dan berbagai peralatan pelengkapnya naik pesat. Begitu juga dengan pengembangan smartphone yang mulai terpusat di area kemampuan kamera. Tugas anak-anak sekolah pun bukan lagi dalam bentuk tulisan saja, namun juga dalam bentuk video yang diunggah ke berbagai platform berbagi video.

Di berbagai tempat, kita sangat mudah menjumpai orang-orang biasa yang mulai “melebarkan sayap” menjadi kamerawan sekaligus presenter. Memotret atau memvideokan makanan sudah jadi ritual yang amat sangat akrab kita jumpai di restoranrestoran. Begitu juga dengan bagaimana orang-orang turun dari pesawat dengan berbicara ke kamera layaknya reporter televisi yang kita lihat langsung. Bahkan, kurir perusahaan pengiriman barang e-commerce pun mulai terbiasa menyaksikan pembeli memvideokan produk. Mulai sejak produk tersebut diterima dari kurir hingga melakukan unboxing dan membahas satu per satu.

Mendadak setiap orang jadi content creator, tapi juga sekaligus penikmat konten. Dan, itulah yang memunculkan profesi baru di bidang marketing, yaitu content marketing team. Ketertarikan konsumen pada konten juga menjadi kesempatan bagi merek untuk bisa lebih banyak dilihat dan menyampaikan pesanpesannya ke konsumen. Sayangnya, walaupun bernama content marketing, masih langka sekali kita temui pekerjanya yang mengerti marketing.

Konten Jadi Attention Grabber

Kita pun pernah menyaksikan sendiri bagaimana mereka yang bercerita lebih banyak atau lebih menarik cenderung kita ingat duluan saat baru saja masuk ke dalam sebuah kelompok baru. Ini berkaca dari kehidupan sehari-hari di mana para pembicara berpengalaman seringkali membuka presentasinya dengan sebuah cerita. Konten adalah sebuah bentuk story telling di mana kemampuan framing berperan penting untuk menarik perhatian audiens ke sesuatu yang sebenarnya terlihat biasa-biasa saja.

Kita melihat bagaimana sosok pemimpin dan politikus yang rajin membuat konten punya kecenderungan lebih dikenal. Sebut saja Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Erick Thohir, Sandiaga Uno. Ada pula tokoh sejenis yang memiliki popularitas cukup baik dibandingkan mereka yang kurang banyak berbagi konten seperti Airlangga Hartarto dan Puan Maharani. Bahkan para menteri yang walaupun tidak pernah secara organik membuat konten, namun memiliki keunikan tersendiri untuk menjadi sosok sentral dalam cerita keseharian cenderung lebih dikenal. Susi Pudjiastuti, Basuki Hadimuljono, atau Sri Mulyani misalnya. Konten adalah cerita, dan cerita selalu mempunyai daya tarik lebih dari fakta dingin. Dan, semua tokoh yang ada di dalamnya ikut terkerek.

Namun, penerapannya dalam bidang content marketing tidak semudah itu. Tidak sedikit para penggiat content marketing yang secara brutal menjadikan merek sebagai pemeran utama dalam materinya tanpa membangun relevansi. Hasilnya, boro-boro menarik perhatian, yang terjadi malah audiens kabur menghindar.

Content marketing merupakan sebuah bentuk brand story, yang seringkali disalahartikan. Brand story bukanlah cerita tentang merek, melainkan tentang konsumen dalam versi terbaiknya dengan brand sebagai enabler-nya. Lihat bagaimana Nike selalu mengedepankan sosok-sosok inspiratif konsumen dalam setiap konten marketingnya.

Sementara, Nike as a brand hanya muncul sebagai supporting. Begitu juga dengan sabun Dove yang mengangkat cerita-cerita perempuan cantik melebihi stereotip umum. Bahkan, Dove sebagai salah satu yang mengafirmasi ini pun tidak pernah menempatkan diri sebagai penyebab cantiknya mereka. Sesuatu yang jika dilihat dari kacamata “pedagang” adalah sebuah kerugian. “Ngapain bikin brand content yang brand kita enggak ambil bagian langsung di sana?” begitu mungkin ucapan yang akan keluar dari para “pedagang”.

Sayangnya, untuk bisa mendapatkan perhatian konsumen, maka kita tidak bisa bercerita semuanya tentang kita. Anda pun pasti tidak nyaman berada di tengah orang-orang yang apa pun ucapan dari mulutnya hanyalah tentang dirinya.

Konten untuk Build Brand Memory

Content marketing sebaiknya tidak berhenti pada tujuan mencari perhatian audiens saja, namun juga hingga pada bagaimana konten bisa membangun brand memory. Amat sangat wajar jika merek diingat ketika sedang ada content marketing yang beredar di media sosial. Tapi, sayangnya itu akan membuat merek bergantung pada eksposur konten. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana memproduksi konten yang bisa membuat merek kita diingat bahkan ketika tidak ada eksposur ke brand content.

Secara ilmiah, otak manusia memang perlu di-refresh untuk bisa tetap mengingat sesuatu. Seperti halnya ilmu pelajaran yang sudah lama tidak diulang akan hilang dari ingatan. Bahkan kemampuan bahasa asing yang sudah tidak pernah dipraktikkan pun akan luntur perlahan-lahan. Namun, kita juga mengalami sendiri bagaimana banyak hal dalam hidup tetap kita ingat bahkan walaupun sudah lama tidak bertemu. Orang-orang dekat yang sudah berpisah, restoran favorit yang sudah lama tidak dikunjungi dan lain sebagainya. Mereka tetap diingat bahkan walaupun sudah tidak ada eksposur pada kita. Dan, formula untuk mencapai hal itu adalah memanfaatkan sesuatu yang memacu emosi dan juga sekaligus relevan.

Semua yang memiliki emotional flavour cenderung lebih diingat, persis seperti orang dekat yang sudah tiada. Ini terjadi karena emotional flavour selalu muncul pada sesuatu yang berkorelasi dengan pain atau pleasure. Dan karena pain and pleasure adalah program dasar otak kita, maka dengan mudah otak akan mengingatnya. Namun, untuk membuat brand kita ikut terjaga, maka konten yang dibagikan juga harus membangun relevansi yang unik hanya pada merek kita. Baik melalui penggunaan aset seperti bagaimana kita mengasosiasikan Red Bull dengan extreme sport. Ini bisa terjadi ketika Red Bull secara konsisten membangun asosiasi brand-nya dengan extreme sport. Sehingga olahraga ekstrem menjadi trigger ke brand memory Red Bull.

    Konten untuk Membangun Konteks

    Konsumen tidak selalu bisa membayangkan penggunaan produk kita dalam berbagai konteks. Terlebih tanpa konteks maka seringkali kebutuhan tidak muncul. Persis seperti bagaimana IKEA membangun set up interior dengan furnitur yang ia jual, ketimbang menempatkannya berjejer berdasar kategori seperti ada di gudang. Begitu juga dengan cara para pengembang perumahan ternama selalu mendekorasi rumah contoh dari perumahan yang mereka jual, bahkan walaupun produknya dijual tanpa dekorasi. Tujuannya adalah untuk membangun konteks yang bisa dibayangkan oleh konsumen sehingga kebutuhan tercipta.

    Di dunia content marketing, kita juga melihat bagaimana berbagai produk dapur rajin membuat konten memasak yang menempatkan produk mereka dalam konteks yang bisa menginspirasi audiens. Begitu juga dengan cara department store menjual pakaian dengan memasangkannya ke maneken ketimbang sekadar diletakkan di rak yang membuat konsumen sulit membayangkan. Menyadari hal ini, content marketing juga sebaiknya didorong membangun konteks untuk kebutuhan.

    Konten untuk Membangun Hubungan

    Content marketing menjadi salah satu bentuk storytelling. Di mana story terbukti ribuan tahun keampuhannya untuk meningkatkan kualitas hubungan. Kita membuktikannya ketika hubungan menjadi lebih baik dengan teman seangkatan setelah berbagi cerita nyata penderitaan dan kebahagiaan pada sesi orientasi siswa baru. Berbagai penelitian juga mengkonfirmasi bahwa menonton film bersama dan bepergian bersama menjadi cara paling ampuh untuk meningkatkan kualitas hubungan dengan pasangan. Ini terjadi secara sederhana, karena dengan momen-momen seperti itu kita berbagi cerita yang sama, baik cerita fiktif dalam film maupun cerita nyata yang kita alami Bersama.

    Cerita mendorong emosi, dan otak memiliki kecenderungan untuk membangun keterikatan pada banyak hal di mana emosi muncul. Trauma misalnya, bagaimana kenangan dengan emosi negatif itu terus muncul adalah salah satu bentuk keterikatan itu sendiri. Walaupun keterikatan dalam bentuk kewaspadaan. Hubungan di antara dua orang baik hubungan pribadi atau pertemanan pun semakin kuat ketika sudah melibatkan emosi. Sebab, berpisah dengan teman sekantor yang sudah berbagi cerita dan emosi bersama cenderung lebih sulit. Ini terjadi karena ketika kita berbagi emosi, otak bawah sadar mengartikannya sebagai perasaan dimengerti. Dan, itu membangun ikatan pada orang yang dianggap mengerti perasaan kita tersebut.

    Logika yang sama juga harus bisa dimanfaatkan merek untuk bisa membangun relationship. Yaitu, dengan membangun ceritacerita yang menggugah emosi secara konsisten sehingga ada perasaan “wah saya dimengerti” oleh konsumen.

    Content marketing merupakan sebuah bentuk brand story yang seringkali disalahartikan. Brand story bukanlah cerita tentang merek, melainkan tentang konsumen dalam versi terbaiknya dengan merek sebagai enabler-nya.

    Leave a Comment