Brand Storytelling dan Kualitas Kesadaran

Brand Storytelling dan Kualitas Kesadaran

Ada korelasi antara brand storytelling dan tingkat kesadaran konsumen dalam menyerap pesan cerita yang disampaikan. Merek harus pandai-pandai mengelola korelasi ini. 

Beberapa tahun belakangan muncul beberapa iklan “pragmatis” yang memanfaatkan lagu yang simpel, diulang-ulang sehingga “mengganggu” dan akhirnya membuat orang ingat. Sebut saja Shopee dengan iklan Shopee COD nya yang sebegitu simpel, diulang-ulang dan akhirnya membuat orang ingat. Kekuatan dari iklan tersebut ada pada lagu La Cucaracha yang sederhana namun catchy. Liriknya diubah menyesuaikan pesan yang diinginkan, yaitu penawaran layanan bayar di tempat untuk berbelanja di Shopee. 

Seakan tidak mau kalah, aplikasi agen travel Tiket.com pun menggunakan pendekatan yang sama. Memanfaatkan lagu yang amat sangat familiar bagi semua orang yang pernah duduk di taman kanak-kanan, Tiket.com juga berusaha mendongkrak brand awareness-nya dengan menggunakan lagu yang simple, memorable dan catchy. Hasilnya, kita yang pernah beberapa kali terekspos iklan tersebut mulai membangun awareness secara bawah sadar dengan jingle yang catchy itu.

Melihat kesuksesan dua pemain tersebut dalam membangun awareness yang sangat melekat dalam jangka waktu singkat, Lazada pun tidak ingin ketinggalan. Situs marketplace milik Alibaba ini pun membuat iklan sederhana berbasis jingle dengan kata-kata “Pengiriman cepat, gratis ongkir”. Lagunya yang dibuat sebegitu sederhana dan diulang-ulang ditambah kekuatan belanja media yang luar biasa, membuat awareness audiens terbangun. Terutama Lazada yang menawarkan penawaran pengiriman cepat dan gratis ongkirnya secara unik di benak kita.

Tiga contoh menarik tadi sebenarnya bukan hal baru di dunia marketing. Di awal tahun 2000-an produsen sosis So Nice pun menggunakan strategi yang mirip dengan menggunakan iklan berbasis jingle dengan lagu terkenal yang diaransemen ulang untuk memperkenalkan produk Sozzis-nya. Hasilnya, serupa dengan tiga pemain yang saya sebut terdahulu, brand awareness pun mulai terbentuk di benak konsumen dengan bantuan lagu yang sticky ini.

Situasi di dalam kepala kita secara autopilot terputar sebuah lagu yang familiar tanpa kita bisa mengontrolnya disebut earworm. Ini terjadi pada lagu-lagu yang familiar, simpel dan diulang-ulang. Ini terjadi berkat mekanisme “filling the gap” secara otomatis yang dilakukan oleh otak kita. Sama seperti otak kita melanjutkan jawaban dari pertanyaan “Ini ibu Bu…?” dengan jawaban “…Di”, untuk membuat pernyataannya jadi lengkap “Ini ibu Budi”.

Mekanisme yang sama terjadi ketika lagu yang catchy tersebut masuk ke memori kita akibat repetisi tingkat tinggi, dan otak berusaha “filling the gap” dengan melanjutkannya. Karena kebetulan lagunya simpel dan dengan nada yang diulang-ulang, maka seolah-olah lagu itu tidak berhenti-berhenti diputar di benak kita.

Pertanyaan lebih lanjutnya adalah, apakah ini satu-satunya cara untuk membangun brand awareness? Dan apakah ini cara terbaik untuk membangun brand awareness? Dunia marketing mengenal istilah brand storytelling, yang sering diartikan sebagai strategi merek untuk membangun cerita untuk membangun merek. 

Sebelum kita bahas bagaimana brand storytelling bermanfaat untuk merek, perlu kita sadari bahwa semua dari empat merek yang memanfaatkan earworm di atas tidak melakukan brand storytelling dalam iklan-iklan yang membuatnya diingat tadi. Lalu apa jangan-jangan brand storytelling hanyalah mitos yang dibesar-besarkan dan sebenarnya tidak ada manfaatnya untuk merek? Bagaimana mungkin ribuan iklan berusaha membangun cerita namun tidak berhasil menancapkan ingatan secepat bagaimana teknik earworm melakukannya?

Lepas dari manfaat yang didapat dari pendekatan earworm yang dilakukan oleh setidaknya empat merek tersebut, mereka tampak tidak memiliki meaningful awareness di mana konsumen bisa menyebutkan sebuah asosiasi yang konsisten yang dibangun oleh pesan-pesan dalam iklannya. Saya menemukannya dalam studi kualitatif yang saya lakukan. Dari 53 responden yang merespon, tidak ada satu pun yang bisa menyebutkan satu kata-kata yang bisa diasosiasikan dengan empat merek tersebut dengan mudah. Lebih lanjut lagi, dari sedikit yang akhirnya bisa menyebutkan asosiasi dari merek-merek tersebut setelah diberikan waktu lebih, menjawab asosiasi tersebut terbangun bukan dari iklannya, melainkan dari konsistensi pesan di medium lain yang dilakukan mereka. 

Ketika ditanya merek lain yang memiliki asosiasi yang kuat dari iklan yang mereka lakukan, lebih dari setengahnya bisa dengan spontan menyebut Tokopedia dengan asosiasi pemberdayaan UMKM/pedagang, dan kata-kata sejenis. Begitu juga dengan bagaimana Bukalapak muncul dengan asosiasi norak, receh namun sangat Indonesia. Sampai di situ saya pun mengambil hipotesis bahwa walaupun earworm bisa berdampak terhadap peningkatan brand awareness score, namun secara quality, earworm tidak sekuat brand storytelling dalam membangun quality of awareness.

    Selanjutnya, saya melakukan semacam meta analysis dengan membaca beberapa sumber referensi. Menariknya, saya menemukan korelasi antara elektabilitas capres dengan bagaimana sosok tersebut telah membangun brand storytelling. Jika kita lihat dari berbagai macam survei, capres dan cawapres yang menduduki papan atas elektabilitas adalah mereka yang membangun brand storytelling yang kuat. 

    Sosok-sosok seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Erick Thohir, Sandiaga Uno, Mahfud MD, Agus Yudhoyono adalah mereka yang mendominasi papan atas elektabilitas sekaligus memiliki “story” yang unik dan spesifik di seputar brand-nya. Sementara ada beberapa nama yang ada di bagian bawah klasemen dari mereka yang masih memiliki elektabilitas (walaupun rendah) yang kebetulan kurang terdengar brand storytelling-nya. Mereka adalah Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, dan Puan Maharani. Menariknya, tiga nama ini muncul di papan bawah elektabilitas bahkan walaupun awareness-nya tinggi. Tiga nama ini juga terlihat rajin muncul di baliho untuk membangun awareness-nya. Dari sini saya pun menarik hipotesis kedua, yaitu bahwa walaupun brand awareness score penting, namun dalam kasus political marketing brand storytelling masih lebih berpengaruh dalam mendongkrak elektabilitas. 

    Kita juga bisa lihat dari bagaimana presiden, calon presiden, pemimpin daerah dan calon pemimpin daerah yang berhasil mendulang dukungan signifikan adalah mereka yang membangun story di seputar brand-nya. Sebut saja; Jokowi, Gibran, Ahok, Megawati, SBY, Bima Arya, Tri Rismaharini, Emil Dardak, Khofifah Indar Parawansa dan masih banyak lagi

    Kehadiran internet cepat, media sosial, kamera ponsel yang mampu memproduksi foto dan video kualitas baik telah menjadi katalis terhadap semakin tingginya tuntutan terhadap brand storytelling. Kini konsumen tidak lagi berfungsi sebagai pihak yang mengkonsumsi informasi, tapi juga sebagai produsen yang bisa membuat informasi. Dan semakin banyak orang kini menjadi content creator. 

    Di samping dukungan teknologi, content marketing menjadi salah satu aset yang memungkinkan brand storytelling semakin mendapat tempat dengan fakta bahwa manusia adalah emotional animal. “We are not a thinking machine that feels, we are a feeling machine that also thinks’ ‘, begitu ungkap Antonio Damasio. Dalam berbagai momen hidup, kita mudah sekali terpacu oleh sesuatu yang memiliki nilai emosional. Dan storytelling memberikan kesempatan untuk kita bisa memberikan emotional flavor pada informasi yang kita sampaikan, termasuk mengenai brand kita. Dengan seketika, kita pun mulai membangun asosiasi pada subject storytelling. 

    Kita juga melihat di berbagai presentasi baik dalam bentuk seminar, presentasi bisnis, atau sekadar perkenalan antara dua pihak yang baru bertemu, cerita yang disampaikan di awal sesi bisa menjadi pelicin untuk membangun hubungan dan rasa percaya. Memang tidak bisa dimungkiri mereka yang berbagi cerita bersama memiliki keterikatan lebih daripada mereka yang sudah hidup bersama dalam waktu lama namun belum berbagi banyak cerita. 

    Lihatlah bagaimana kegiatan ospek menyatukan para mahasiswa baru, sama seperti bagaimana atasan yang kejam mempererat ikatan antar karyawan. Momen berbagi cerita dan pengalaman bersama yang sarat emotional flavor membuat kita mengasosiasikan teman berbagi cerita itu sebagai “kaum kita”. Karena itu pula bioskop masih menjadi tempat paling favorit untuk sepasang pemuda yang sedang PDKT ataupun sudah “jadian” untuk menghabiskan waktu. Cerita di bioskop yang disaksikan bersama membantu membangun keterikatan sebagai momen “berbagi cerita/momen” bersama.

    Benefit lain yang didapatkan dari brand storytelling yang mampu memfasilitasi terciptanya emotional flavor adalah terbangunnya brand memory yang sangat kuat. Ini terjadi karena pada dasarnya emotional flavor adalah aspek pemicu otak untuk membangun perhatian dan juga ingatan. Apapun yang memiliki emotional flavor yang kuat akan menarik perhatian kita, dan akan kita ingat dengan lebih kuat. Dan itulah yang brand storytelling bisa tawarkan dalam membangun merek. Tidak seinstan earworm, namun dengan kualitas awareness yang lebih baik.

    Lalu pertanyaannya, apakah semua cerita yang disampaikan dalam brand storytelling bisa memberikan semua manfaat ini? Sayangnya tidak. Banyak faktor ikut bermain untuk membawa manfaat ini, sama seperti bagaimana earworm tidak bisa terjadi di semua lagu. Namun jika saya hanya bisa menyebut satu syarat untuk brand storytelling bisa menghasilkan dampak yang mujarab, maka saya akan menyebut relevansi. Apakah cerita yang kita sampaikan  memiliki relevansi dengan merek kita dan juga konsumen? 

    “Kehadiran internet cepat, media sosial, kamera ponsel yang mampu memproduksi foto dan video kualitas baik telah menjadi katalis terhadap semakin tingginya tuntutan terhadap brand storytelling.”

    Leave a Comment